WUJUD KETERGANTUNGAN MANUSIA PADA TUHAN DALAM NOVEL KAMBING DAN HUJAN KARYA MAHFUD IKHWAN: KAJIAN PROFETIK SASTRA
WUJUD KETERGANTUNGAN MANUSIA PADA TUHAN DALAM NOVEL KAMBING DAN HUJAN KARYA MAHFUD IKHWAN: KAJIAN PROFETIK SASTRA Khumaidi Abdillah Universitas Billfath Lamongan abemaidi80@gmail.com Abdul Karim Wirawan Universitas Negeri Malang abdulkarimwira@gmail.com Abstract: This paper tries to examine the prophetic ethics of literature contained in the novel Goat and Rain by Mahfud Ikhwan. The prophetic ethics of literature itself is divided into three, namely humanization, liberation, and transcendence. Prophetic ethics that will be discussed in this paper is one aspect of transcendent prophetic ethics, namely the recognition of human dependence on God. Manifestations of human dependence on God have two parts, namely (1) piety and (2) trust. These two parts form the basis of the study of the Kambing dan Hujan novel. This novel is a novel that tells the story of a couple who wants to get married but is constrained by permission from their parents. These constraints arise because each parent has different religious principles, one is a member of the Nahdlatul Ulama, while the other is a Muhammadiyah congregation. Keywords: dependence, human, God, prophetic, Kambing dan Hujan. PENDAHULUAN Sastra dan Islam memang merupakan dua hal yang berbeda, namun keduanya saling berkaitan satu sama lain. Perkembangan kesusastraan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari khazanah keislaman. Gagasan-gagasan sastra Islam telah lahir dan berkembang bersamaan dengan masuknya pengaruh agama Islam ke berbagai aspek tradisi dan budaya Nusantara. Keberadaan sastra Melayu (syair, pantun, gurindam, dan lain-lain), Sastra Jawa (babat, serat, suluk, dan lain-lain), serta Sastra pesantren (sastra kitab, singiran, nadhoman, dan lain-lain) merupakan bentuk sastra yang terpengaruh oleh corak keislaman. Corak keislaman juga masuk ke para pengarang sastra. Pujangga seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, hingga Ranggawarsita adalah beberapa nama yang menulis karya jenis sufisme-profetik. Berbicara tentang pengaruh Islam dalam khazanah sastra Indonesia tidak dapat dilepaskan dari agama Islam itu sendiri, serta penyebarannya di wilayah Indonesia. Islam sudah masuk ke wilayah Nusantara sekitar pertengahan abad ketujuh masehi. Para saudagar Arab yang telah menjalin jalur perhubungan dagang dengan wilayah Nusantara adalah orang yang pertama membawa Islam ke Nusantara. Namun demikian, pada masa ini Islam belum dianut secara luas oleh penduduk pribumi Nusantara. Islam baru dianut secara luas oleh penduduk pribumi Nusantara pada pertengahan abad ke-15. Saat itu, yang menjadi penyebar agama Islam adalah para tokoh sufi yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Pada masa ini, Islam dengan cepat diserap ke dalam asimilasi dan sinkretisme Nusantara . Pesatnya perkembangan ajaran Islam yang dibawa oleh Wali Sanga tidak lepas dari cara dakwah yang mereka lakukan. Wali sanga mendakwahkan Islam dengan cara yang arif dan bijaksana, tidak serta merta dan secara instan. Ciri utama penyebaran Islam oleh Wali Sanga adalah bertahap dan tidak menyakiti. Bertahap, artinya ajaran tersebut diberlakukan sedikit demi sedikit dan dengan berbagai penyesuaian dengan tradisi lokal. Para wali tidak menghapus sama sekali tradisi, kepercayaan, maupun kesenian yang telah ada di masyarakat, namun perlahan diluruskan dan disesuaikan dengan Islam. Kedua adalah dengan tidak menyakiti. Dakwah para wali tidak mengusik dan menghapuskan tradisi—bahkan agama—yang telah ada di masyarakat, namun memperkuatnya dengan cara yang islami. Saat sastra Indonesia modern lahir, tumbuh juga di dalamnya gagasan-gagasan sastra Islam dengan berbagai polemik yang menyertainya. Setelah era 1930-an dengan nama-nama seperti Hamka, Sanusi Pane, dan terutama Amir Hamzah, gagasan sastra Islam dalam khazanah sastra Indonesia modern secara tidak langsung telah muncul ke permukaan antara tahun 1960 hingga 1970-an. Gagasan itu lahir bukan saja hanya dalam bentuk karya, tetapi juga dalam bentuk wacana. Salah satu istilah yang dikembangkan secara mendalam sebagai wacana uatama dalam sastra Islam Indonesia modern adalah sastra profetik. Latar belakang pemunculan istilah sastra profetik ini berasal dari ketidakpuasan atas pandangan orang yang terlalu sempit dalam menilai sastra Islam (dan seni Islam pada umumnya). Pada umumnya, orang mendefinisikan seni Islam sebagai seni yang menggugah kesadaran ketuhanan. Namun, kesadaran ketuhanan baru sepertiga dari kebenaran sastra profetik. Sastra profetik merupakan sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan dan tidak mungkin menjadi sastra yang terpencil dari realitas. Sastra hanya bisa berfungsi sepenuhnya bila sanggup memandang realitas dari suatu jarak, yang akhirnya melahirkan ungkapan sastra lebih luas dari realitas, sastra membawa manusia keluar dari belenggu realitas, dan sastra membangun realitasnya sendiri . Sastra profetik tidak bisa sendirian memberikan arah dan mengkritik realitas, tetapi sebagai bagian dari collective intelligence. Sastra profetik diharapkan menjadi arus intelektual dan sistem simbol yang fungsional, bukan sekadar trivialitas sehari-hari dan biasa-biasa saja. Sastra profetik juga merupakan sastra yang tampil untuk selalu mengingatkan manusia atau pembacanya kepada Tuhan dan menghayati petunjuk-petunjuk-Nya. Sastra profetik berfungsi memberi pencerahan dan menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk theomorfis. Selain itu, sastra profetik bertujuan merealisasi sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia serta mengingatkan bahwa perjalanan hidup ini juga merupakan perjalanan kerohanian. Sastra profetik merujuk pada pemahaman dan penafsiran kitab-kitab suci atas realitas dan memilih epistemologi strukturalisme transendental. Hal ini karena (a) kitab-kitab suci itu transendental karena merupakan wahyu dari Yang Maha Transenden dan juga melampaui zamannya serta (b) kitab-kitab suci itu adalah struktur dan selalu koheren (utuh) ke dalam atau merupakan suatu kesatuan serta konsisten ke luar atau tidak bertentangan dengan struktur lain. Meski demikian, sastra profetik adalah sastra yang demokratis yang tidak otoriter dengan memilih satu premis, tema, teknik, dan gaya (style), baik yang bersifat pribadi maupun yang baku. Keinginan sastra profetik hanya sebatas bidang etika (yang disebut etika profetik) yang terjadi secara sukarela dan tidak memaksa. Etika itu disebut profetik karena ingin meniru perbuatan Sang Prophet atau Nabi. Nabi yang meskipun telah mencapai tempat tertinggi dalam peristiwa Isra-Miraj yang menjadi dambaan ahli mistik, namun ia kembali ke dunia untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya. Etika profetik itu pun terilhami dari ayat Al Quran surah Ali Imran ayat 110, yang berbunyi: Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah. Atas dasar ayat tersebut etika profetik kemudian dirumuskan menjadi tiga hal, yaitu humanisasi atau menyuruh kebaikan, liberasi atau mencegah kemungkaran, dan transendensi atau beriman kepada Tuhan. Tulisan ini berfokus pada aspek transendensi yang terdapat dalam novel Kambing dan Hujan. Transendensi memiliki tiga ada tiga unsur, yakni (a) pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan, (b) pengakuan adanya perbedaan yang hakiki antara manusia dan Tuhan, serta (c) pengakuan adanya norma-norma hakiki dari Tuhan yang tak berasal dari akal manusia. Aspek transendensi yang akan ditelaah pada tulisan ini adalah pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan yang terdiri atas wujud ketakwaan dan ketawakalan yang terdapat dalam novel Kambing dan Hujan. Novel Kambing dan Hujan adalah novel yang ditulis oleh Mahfud Ikhwan. Novel ini bercerita tentang tokoh Mif dan Fauzia. Kedua tokoh ini adalah sepasang kekasih yang ingin menikah, namun terkendala izin dari orang tua masing-masing. Hal ini karena latar belakang keluarga keduanya yang berbeda, Mif dari keluarga Muhammadiyah, sementara Fauzia dari keluarga NU. Ditambah lagi, masing-masing kedua ayah pasangan ini adalah tokoh masing-masing organisasi tersebut. Pergesekan NU-Muhammadiyah dalam masyarakat ini menjadi bumbu pelengkap kisah cinta Mif dan Fauzia. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang menjadi fokus utama cerita dalam novel ini merupakan dua organisasi berbasis Islam terbesar di Indonesia. NU didirikan oleh KH. Hasyim Asyari, sementara Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan. Kedua tokoh ini berguru pada guru yang sama, yakni KH. Kholil. Meski berasal dari guru yang sama, namun kedua organisasi ini berkembang dengan arah yang berbeda. Hal ini dapat dilihat terutama dalam hal akidah atau keyakinan. Contoh perbedaan tersebut antara lain cara menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, NU menggunakan metode rukyat, yakni melihat hilal pertanda bulan baru secara langsung, sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab, yakni penghitungan astronomis. Kedua metode ini terkadang menunjukkan hasil yang berbeda, sehingga berdampak pada perbedaan hari raya kedua ormas ini. Perbedaan lain adalah jumlah rakaat salat Tarawih—NU 23 rakaat, sementara Muhammadiyah 8 rakaat—serta salat Subuh dengan atau tanpa doa qunut. Perbedaan-perbedaan ini tak jarang menimbulkan perdebatan di masyarakat, meskipun tidak pernah terjadi konflik horizontal karena baik masyarakat NU maupun Muhammadiyah telah sama-sama dewasa dalam menyikapi perbedaan tersebut. METODE Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menelaah wujud ketergantungan manusia pada tuhan dalam novel Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan. Ciri penelitian kualitatif yang sesuai dengan penelitian ini adalah peneliti sebagai instrumen kunci, meneliti pada kondisi objek yang alami tanpa ada perlakuan, menggunakan metode analisis data induktif, serta berdasarkan teori. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian telaah pustaka dengan menggunakan teori sastra profetik. Untuk menjaga objektivitas peneliti, dilakukan tahapan pengecekan keabsahan data. Pengecekan keabsahan data makalah ini dilakukan dengan triangulasi, yakni teknik pemeriksaan keabsahan temuan dengan memanfaatkan sesuatu di luar temuan sebagai sarana pengecek dan pembanding terhadap data untuk membangun penafsiran dan analisis yang koheren. PEMBAHASAN Wujud pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan terdiri atas (2) takwa, dan (3) tawakal. Dalam novel Kambing dan Hujan pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan terepresentasi pada unsur tokoh. Narasi tentang tokoh, monolog tokoh, serta dialog antar-tokoh pada novel ini mengandung wujud pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan. Wujud Ketakwaan dalam Novel Kambing dan Hujan Pengertian takwa adalah terpeliharanya diri untuk tetap melaksanakan perintah Tuhan serta menjauhi larangan-Nya. Menjalankan perintah ini baik perintah yang bersifat wajib maupun sunah, serta menjauhi larangan baik yang bersifat makruh maupun haram. Hal lain yang perlu dicermati dalam pengertian ini adalah adanya frasa terpeliharanya diri. Frasa tersebut mengisyaratkan bahwa dalam menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya, harus disertai dengan kontinuitas. Artinya, sikap bertakwa ini harus dilakukan secara terus-menerus sepanjang hidup. Takwa menjadi hal yang penting dalam kehidupan beragama, hingga setiap khatib khutbah jumat diwajibkan untuk menyampaikan wasiat takwa. Selain itu, takwa juga banyak diabadikan di dalam Al Quran, salah satunya berikut ini. “(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” Ayat di atas menegaskan pentinynya bertakwa kepada Tuhan. Hal ini karena Tuhan menyukai orang yang bertakwa. Hal ini menggambarkan pentingnya sikap takwa. Perilaku takwa adalah salah satu cerminan bentuk pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan. Bentuk pengakuan ini dapat ditemukan dalam novel Kambing dan Hujan, salah satunya dalam kutipan berikut ini. Jika sekarang ini kamu bisa melihat orang Centong tak ke mana-mana saat Jumat, saat itu tidak begitu. Orang-orang bukannya tak tahu kalau jumatan itu wajib dan harus dilakukan dengan jumlah jamaah yang telah ditentukan batas paling sedikitnya. Tapi, bagi orang-orang Centong saat itu, shalat, bahkan shalat Jumat (dengan segala keutamaannya itu), tidak lebih penting dibanding sawah-ladang dan tanaman mereka; dengan jagung yang butuh disiangi; dengan batang padi muda yang sedang bunting; dengan singkong yang sudah dicabut, tapi belum dikupas dan dikeringkan. Kutipan di atas mengandung kebalikan dari sikap takwa. Dalam kutipan tersebut perintah Tuhan berupa salat Jumat dilanggar oleh orang-orang Centong. Mereka lebih mengutamakan bekerja di sawah atau ladang daripada bekerja. Mereka mengetahui dan memahami bahwa salat Jumat adalah kewajiban setiap muslim. Namun demikian mereka tidak mengindahkan kewajiban tersebut dan lebih memilih mementingkan pekerjaan mereka. Perilaku takwa sebagai bentuk pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan dalam novel Kambing dan Hujan berikutnya dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. Aku yakin mereka hendak menyebarkan kebenaran dan menegakkan agama Islam. Semboyan yang mereka gaung-gaungkan adalah amar makruf nahi mungkar. Itu bagus, bukan? Cara merekalah yang kadang kurang menyenangkan. Kalau maksudnya baik, tapi dilakukan dengan cara yang kurang baik, ujungnya akan tidak baik. Kutipan di atas mencerminkan sikap takwa, yakni menyebarkan agama Islam. Dakwah menyebarkan agama Islam ini adalah kegiatan yang bagus dan termasuk ke dalam sikap takwa. Namun demikian dakwah yang bertujuan baik ini dapat menjadi buruk jika dilakukan dengan cara yang tidak baik. Mendakwahkan agama Islam dengan cara pemaksaan dan kekerasan misalnya, tidak akan mendapatkan simpati, malah justru akan menimbulkan permusuhan yang bertolak belakang dengan sikap takwa. Penyebaran agama Islam dapat dilakukan dengan cara simpatik dan lemah lembut seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Contoh dakwah Nabi yang yang simpatik yakni dakwah yang dilakukan terhadap seorang pengemis Yahudi buta. Pengemis tersebut selalu menghina Nabi setiap hari, namun Nabi setiap hari memberikan pengemis tersebut makanan. Ketika mengetahui orang yang setiap hari memberinya makan tersebut adalah Nabi Muhammad, pengemis tersebut menangis dan menyatakan masuk Islam. Contoh dakwah Nabi tersebut yang mengedepankan cara-cara simpatik perlu dicontoh agar niat dakwah yang bertujuan baik tersebut dapat dilaksanakan dengan baik pula. Bertakwa sebagai bentuk pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan dalam novel Kambing dan Hujan berikutnya dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. Orang Centong bukan pemabuk macam orang Macanan di selatan sana. Yang senang judi juga Cuma segelintir. Dan, secara umum semua orang Centong tahu itu buruk dan dilarang agama. Tapi, sampai sejauh itu, hampir sulit membayangkan ada keramaian yang tidak disertai judi dan minuman keras. Kutipan di atas menunjukkan sikap yang tidak mencerminkan takwa. Dalam agama Islam berjudi dan minum minuman keras adalah dua hal yang dilarang. Namun dalam kutipan tersebut dinyatakan bahwa setiap keramaian pasti ada judi dan minuman keras. Hal ini menunjukkan kurangnya rasa takwa masyarakat dalam kutipan tersebut. Padahal dalam kutipan tersebut dinyatakan bahwa warga sudah mengetahui bahwa judi dan minuman keras adalah hal yang buruk serta dilarang oleh agama, namun masih dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang agama adalah hal yang sia-sia jika tanpa pelaksanaan dalam kehidupan nyata. Bertakwa sebagai bentuk pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan dalam novel Kambing dan Hujan berikutnya dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. Menjelang sore, seorang pedagang tuak yang datang dari Macanan kami usir pulang. Ia perempuan berumur 50-an. Kasihan juga, datang jauh-jauh dari Macanan ke Centong dan terusir. Tapi, apa boleh buat, pedoman awal harus dilaksanakan. Nilai agama harus dikedepankan. Kutipan di atas menggambarkan bentuk ketakwaan kepada Tuhan, dengan cara mengusir pedagang tuak keluar desa. Dalam agama Islam memang meminum minuman keras dilarang oleh agama dan hukumnya haram. Upaya pengusiran tersebut dilakukan untuk mengamalkan ajaran Islam. Namun demikian cara yang dilakukan kurang tepat, yakni dengan cara mengusir penjual tuak tersebut. Cara yang dapat dilakukan yang lebih baik dan manusiawi adalah dengan memberikan pengertian secara baik-baik kepada penjual tersebut tentang hukum haram meminum minuman keras. Dengan demikian, penjual tersebut mendapatkan wawasan keagamaan baru sekaligus merasa dimanusiakan. Hal yang disoroti dalam kutipan di atas adalah kegiatan berdakwah. Berdakwah merupakan kegiatan yang baik berupa mensyiarkan agama Islam. Namun demikian kegiatan yang baik ini perlu dilakukan dengan cara yang baik pula. Kegiatan yang baik yang dilakukan dengan cara yang tidak baik pada akhirnya akan menimbulkan ketidakbaikan pula. Artinya, selain hasil yang ingin diperoleh, cara untuk mendapatkan hasil tersebut juga perlu diperhatikan karena antara proses dan hasil akan saling berkaitan satu sama lain. Bertakwa sebagai bentuk pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan dalam novel Kambing dan Hujan berikutnya dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. “Tapi, apakah artinya persatuan yang dibangun tidak dalam kebaikan dan ketakwaan? Bukankah Allah hanya menganjurkan persatuan dalam kebaikan dan ketakwaan dan bukannya untuk dosa dan kerusakan. Ta’awanu ‘alal birri wattaqwa walaa ta’awanu ‘alal istmi wal udzwan, bukan begitu?” tukasku. Kutipan di atas menggambarkan pentingnya persatuan di dalam masyarakat. Persatuan ini penting karena masyarakat yang terpecah-belah akan mudah menimbulkan konflik, sementara masyarakat yang bersatu akan semakin kuat dan solid sehingga tidak mudah berkonflik. Namun demikian kutipan tersebut juga menyoroti dasar landasan persatuan tersebut. Persatuan yang baik adalah persatuan yang dibangun atas dasar kebaikan dan ketakwaan. Persatuan yang dibangun atas dasar kebaikan dan ketakwaan akan menjadi menjadi pendorong masyarakat semaikn berbuat baik. Hal yang sebaliknya akan terjadi jika persatuan tersebut dibangun di atas keburukan. Persatuan tersebut akan mendorong masyarakat untuk semakin berbuat keburukan. Oleh karena itu, landasan persatuan berupa kebaikan dan ketakwaan ini menjadi hal yang penting dan harus diperhatikan. Wujud Ketawakalan dalam Novel Kambing dan Hujan Tawakal secara sederhana dapat diartikan dengan memercayakan atau menyerahkan segenap masalah dan menyandarkan penanganan berbagai masalah yang dihadapi kepada Tuhan. Konsep tawakal selalu bergandengan dan tidak dapat dilepaskan dari konsep ikhtiar. Ikhtiar adalah daya upaya yang dilakukan semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan. Dalam kesinambungan ikhtiar—tawakal, yang perlu diperhatikan adalah usaha. Perlu dilakukan usaha secara maksimal terlebih dahulu atas masalah yang dihadapi, sambil juga berdoa dan berserah diri kepada Tuhan. Kesinambungan antara ikhtiar dan tawakal ini sesuai dengan Hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini. “Dari Umar RA, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Andaikata kalian benar-benar bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung, yaitu keluar dengan perut kosong di pagi hari dan kembali dengan perut kenyang di sore hari’.” (H.R. Tirmidzi) Hadis di atas menjelaskan bahwa orang yang bertawakal kepada Tuhan akan diberi rezeki serupa dengan rezeki yang diperoleh oleh burung. Penganalogian rezeki manusia dengan burung ini dapat ditafsirkan bahwa untuk memperoleh rezeki tidak cukup dengan hanya bertawakal atau berserah diri saja, namun juga harus dibarengi dengan usaha. Hal ini karena burung—yang menjadi analogi dalam hadis tersebut—tidak akan hanya berdiam diri menunggu rezeki (makanan) datang dengan sendirinya, namun ia berusaha mencari makanan tersebut. Berdasarkan hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa tawakal dan ikhtiar adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan harus berjalan bersama-sama. Sikap tawakal ini dapat ditemukan dalam novel Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan, yang salah satunya dapat dilihat dalm kutipan berikut ini. Sang abah belum memutuskan apapun. Namun, janji Pak Fauzan untuk memikirkan baik-baik, antara lain dengan shalat Istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah, menenteramkan hati Fauzia. Kutipan di atas menunjukkan bentuk tawakal yang dilakukan oleh tokoh Pak Fauzan. Ketika tokoh Pak Fauzan mendapatkan permasalahan yang sangat pelik dan sulit diselesaikannya. Ia kemudian melaksanakan salat istikharah. Salat ini merupakan salat sunat yang dilakukan oleh seseorang ketika mengalami kesulitan memutuskan sebuah permasalahan. Salat Istikharah dapat dilakukan ketika menghadapi permasalahan yang memiliki beberapa alternatif. Artinya, tidak semua perkara perlu diistikharahkan. Perkara-perkara yang telah jelas hukumnya (salat wajib, najisnya anjing, haramnya babi, dan lain-lain) tidak memerlukan salat Istikharah karena tidak akan memiliki kemungkinan lain selain hukum yang berlaku. Sementara perkara-perkara lain—dalam kutipan tersebut adalah perkara perjodohan Fauzia dengan Mif—memang memungkinkan untuk dilakukan salat Istikharah. Bentuk sikap tawakal berikutnya yang terdapat dalam novel Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. Akan tetapi, tentu saja kami tetap terpental. Kami terusir dari masjid, masjid kami—masjidku. Kami seperti Ashabul Kahfi. Tapi, kami bahkan tak punya gua untuk bersembunyi. Meski demikian, kami tak perlu menunggu lama untuk melihat hikmah di balik musibah. Inna ma’al ‘ushri yushra, begitu kata Al-Quran. “Sesungguhnya bersama kesusahan selalu ada kemudahan.” Kutipan di atas menunjukkan sikap tawakal yang diperlihatkan oleh tokoh Aku. Ketika ia dan teman-temannya terusir dari masjid tempat mereka biasa beraktivitas, tokoh Aku bersikap berserah diri kepada Tuhan dan memercayai bahwa apa yang ia hadapai merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan, dan juga akan memberikan hikmah di baliknya. Sikap berserah diri kepada Tuhan ini juga disertai dengan sikap percaya kepada firman Tuhan dalam Al Quran. Tokoh Aku memercayai bahwa apa yang menimpanya beserta teman-temannya merupakan ketetapan dari Tuhan, dan oleh sebab itu Tuhan juga akan memberikan kemudahan setelah kesusahan yang dialami. sikap berserah diri ini merupakan cerminan sikap tawakal. Sikap ini terlebih dahulu didahului oleh ikhtiar, yakni berusaha. Usaha yang dilakukan oleh tokoh Aku yakni berusaha mempertahankan masjid tempat mereka menganji, meskipun pada akhirnya tidak berhasil. Bentuk sikap tawakal berikutnya yang terdapat dalam novel Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan dapat dilihat dalam kutipan berikut ini. Tak apa. Ya, tak apa. Mungkin sefana dan sesia-sia itulah pertemanan di dunia. Mungkin itu sudah takdir-Nya. Toh, kemudian aku dapat gantinya. Kami bisa ajak Anwar, paklikmu itu. Kutipan di atas menunjukkan sikap tawakal yang ditunjukkan oleh tokoh Aku menyadari teman masa kecilnya berubah dan semakin menjauh dari dirinya. Ia menganggap bahwa hal itu merupakan takdir dari Tuhan untuknya. Oleh karena itu ia tidak merasa terlalu kecewa ketika upayanya mengembalikan pertemanan dengan sahabatnya tidak berhasil. Hal ini merupakan bentuk sebuah sikap tawakal, karena menganggap bahwa seberapa besar usaha manusia tetap tidak akan bias mengalahkan takdir. Sikap ini akan melahirkan sikap-sikap baik lain, seperti ikhlas dan sabar. Sikap-sikap ini adalah buah dari sikap tawakal. PENUTUP Etika sastra profetik adalah konsep yang didasarkan pada perilaku atau sifat kenabian. Etika profetik sastra sendiri dibagi menjadi tiga, yakni humanisasi, liberasi, dan transendensi. Transendensi adalah bentuk etika sastra profetik berupa pengakuan dan kepercayaan pada Tuhan. Transendensi dibagi menjadi pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan, pengakuan adanya perbedaan yang hakiki antara manusia dan Tuhan, serta pengakuan adanya norma-norma hakiki dari Tuhan yang tak berasal dari akal manusiaWujud pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan terdiri atas takwa dan tawakal. Dalam novel Kambing dan Hujan pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan terepresentasi pada unsur tokoh. Narasi tentang tokoh, monolog tokoh, serta dialog antar-tokoh pada novel ini mengandung wujud pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan. Adanya wujud pengakuan ketergantungan manusia pada Tuhan pada novel Kambing dan Hujan menunjukkan bahwa karya sastra memiliki peran dalam khazanah keislaman. Sastra tidak hanya dipakai sebagai objek hiburan semata. Jauh dari itu, sastra merupakan sarana penggugah keimanan. Sastra profetik berfungsi memberi pencerahan dan menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk theomorfis. Selain itu, sastra profetik bertujuan merealisasi sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia serta mengingatkan bahwa perjalanan hidup ini juga merupakan perjalanan kerohanian. ? DAFTAR PUSTAKA Arifin, Yanuar, “Meniru Sikap Rasulullah ketika Disakiti” (Yogyakarta: Diva Press, 2011). Creswell, John W., “Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches”, (Los Angeles, London, New Delhi: SAGE Publications, Inc., 2009). Hadi W.M., Abdul, “Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa” (Yogyakarta: Penerbit Matahari, 2004). Ikhwan, Mahfud, “Kambing dan Hujan”, (Yogyakarta: Bentang, 2016). Iqbal, Muhammad, “Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam”, Terjemahan Ali Audah, dkk., (Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, 2008). Kuntowijoyo, “Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika dan Struktur”, (Yogyakarta: Multi Presindo, 2013). Mahfudz, Sahal, “Cara dan Do’a Shalat Istikharah” dalam http://www.nu.or.id/post/read/35787/cara-dan-do039a-shalat-istikharah diakses 7 Oktober 2017. Nawawi, Imam, “Terjemah Riyadhus Shalihin Jilid 1”, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999). Salad, Hamdi, “Narasi Sastra Religius". Republika, 2005, 6. Sunyoto, Agus, “Atlas Wali Songo”, (Depok: Pustaka IIMaN, 2016). Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat), (Jakarta: Balai Pustaka, 2008).